28 November 2007

Flash Fiction: "DUA ONS"

photo by wahyu hs

"Sejak kapan Anda menyadari kebiasaan mengatakan 'dua ons' di akhir setiap kalimat Anda?"

Oleh Wahyu HS

Bonji menunduk, ragu untuk menjawab pertanyaan psikiaternya. Aku hanya akan mempermalukan diriku lagi, pikirnya jengkel. Sekilas, diliriknya sang psikiater yang tetap bicara sambil menutup mulutnya dengan tangan. Bajingan ini mungkin sedang berusaha keras menahan rasa geli menghadapi pasiennya, pikir Bonji sengit. Tapi kemudian ia ingat bahwa ia kesini untuk konsultasi dan ia membayar. Ia tak mau rugi dan harus mengalahkan harga dirinya.


"Sejak ... sejak dua bulan yang lalu, dok," jawab Bonji lalu menunduk dan meneruskan lirih, "... dua ons. Saya ... saya sedang menimbang gula di warung sebanyak dua ons, lalu tiba-tiba seekor kucing jatuh dari atap menimpa saya. Dua ons. Ehm ... saya kaget dan berteriak, dua ons, dua ons. Sejak itulah ... dua ons."

Sang psikiater mengangguk-angguk tersenyum lembut, seolah ingin mengatakan bahwa kebiasaan itu bukan sesuatu yang memalukan ataupun berbahaya. Bonji tetap saja tak menyukainya.

"Ini memang penyakit langka," kata sang psikiater sembari menulis resep obat penenang ringan. "Bahkan, belum tentu sebuah penyakit. Masih dalam penelitian. Untuk sementara, cobalah Anda bersikap tenang dan mulai belajar untuk lebih banyak diam. Bicara yang perlu-perlu saja."

"Baik, dok. Terima kasih," jawab Bonji. Bibirnya bergetar menahan "dua ons" yang siap meluap. Kata-kata itu menteror heboh di ujung bibirnya bagai serombongan monyet liar.

"Tahan. Tenang. Tarik napas pelan-pelan dan dalam," kata sang psikiater yang kembali mulai menutupi mulutnya dengan tangan. Bonji sebal sekali melihatnya, tapi toh ia menuruti saja perintahnya. Dalam posisi tetap duduk, ia menarik napas dalam-dalam, perlahan, lalu menghembuskannya hati-hati hingga hembusan terakhir. Dadanya terasa mau meledak menahan getaran udara, sementara bibirnya berjuang menekan teror "dua ons" itu.

"Fffhhh ...."

"Bagus. Tuh, bisa kan?"

"Terima kasih, dok. Dua ons."

Sang psikiater menarik laci entah mencari apa, tapi Bonji tahu bedebah ini hanya berusaha menutupi rasa gelinya. Bonji berjanji, kalau sampai keparat ini terlepas tawa, ia akan menonjoknya persis di mulut.

“Tidak apa, latihan saja terus. Kuncinya adalah kesabaran dan telaten.”

Bonji keluar dari ruang praktek psikiater itu dengan membawa selembar resep. Tak yakin, apakah ia akan sembuh atau tidak. Yang jelas, ia lega sudah tidak melihat tampang psikiater itu lagi. Tertawalah sepuasmu dan aku tak akan peduli, sungut Bonji dalam hati.

Sang psikiater tercenung di mejanya dengan kening berkerut. Matanya nanar menatap pintu yang tertutup. Tak berapa lama, asistennya yang cantik masuk dan langsung mengunci pintu. Tersenyum lembut seperti biasanya sambil berjalan menghampiri.

“Orangnya sudah jauh, dok, dan tidak ada siapa-siapa lagi di ruang tunggu. Masih ingin?” Ia berdiri di belakang kursi sang psikiater. Tangannya yang lentik mulai memijit punggungnya.
Sang psikiater mengangguk. Ia menengadah dengan mata terpejam. Ditariknya napas dalam-dalam, seperti yang ia ajarkan kepada pasiennya tadi. Beberapa saat ia menahan napas untuk kemudian, perlahan sekali, menghembuskannya sedikit demi sedikit. Gadis asisten itu lembut tersenyum untuk memberinya semangat.

“Ayo, dokter pasti bisa.”

Sang psikiater menghembuskan desah terakhirnya, “Fffhhh ... empat kilo, empat kilo, empat kilo, empat kilo, empat kilo .... kampret! Lima kilo, lima kilo, lima kilo ....” [Fin]


Baca selengkapnya...

24 November 2007

Waktu Hujan Sore-sore

photo by wahyu hs

Sore itu aku lagi nggak butuh musik. Cukup aku, secangkir kopi hangat, kursi tua, balkon, rasa malas, dan mendung sore hari. Kami secara kompak telah membentuk komposisi musikal terindah, yang tak dapat dilakukan komposer manapun. Mereka bisa menciptakan ratusan lagu sepanjang hidupnya, tapi tak ada yang mampu menciptakan satu detik momen pun untuk kita kecuali diri kita sendiri. Sore ini aku nggak butuh mereka. Gerimis sudah cukup membuatku bernyanyi dalam lamunan panjang bersama istighfar lirih.


Hujan mulai turun. Curahnya membentuk tirai bening di depan balkon, seolah hendak menghalangiku dari gelap yang dingin di luar sana. Untuk apa? Bukankah gelap itu telah menjadi batas dengan sendirinya? Ataukah telah menyatu dalam darahku hingga tak lagi bermakna? Ini permainan hidup yang berbahaya. Detik demi detik berlalu menghanyutkan semua momen. Pagi kita beriman, sore kafir, lalu tengah malam tergagap mencari cahaya. Ada yang tak kusukai disini. Mengapa hanya cahaya yang bisa menyelamatkan kita dalam gelap? Mengapa tak ada alternatif lain? Siapa yang mengatur dan membatasi semua ini?

Apa yang dipikirkan Adam dalam momen pertama hidupnya? Manusia dan nabi pertama, termulia dari semua makhluk, terlahir dengan satu software aplikasi yang tak dimiliki makhluk lainnya, yakni kemampuan untuk memilih dan menentukan sikap menurut akal dan kata hatinya. Tapi, sesungguhnya tak pernah benar-benar bebas. Kita terkurung oleh kemapanan siang dan malam, terpaku pada gravitasi, dan hanya bisa menghirup udara yang sama. Kita tak pernah punya cukup tempat untuk membebaskan diri dari kekuasaan Sang Pencipta, yang telah mendikte dunia sejak terlontarnya "kun fa yakun!" Bahkan pikiran pun ada batasnya. Bahkan imajinasipun masih terhitung. Bahkan ilusipun masih menampakkan bayangannya. Bahkan halusinasipun masih di sekitar kita. Bahkan kiamat pun semakin dekat. Tak ada yang menjauhkan kita dari apapun, apalagi dari Allah. Berapa jarak yang telah kita tempuh hingga batas usia? Bahkan sebagian dari kita tak pernah keluar dari kota ini.

Kita hidup dalam pola yang tersusun sistematis, terlempar dari satu titik ke titik lain. Morpheous mengajak Neo keluar dari kekangan matrix dengan meliarkan imajinasi dan kemauannya, tapi mereka tak pernah lebih jauh dari cakrawala. Mereka bergerak bebas, tapi masih terikat oleh hukum alam yang solid.

Tak ada yang bebas.

Kita tak pernah punya daya. Kita hanya punya momen-momen kecil yang menuntun kita pada sesuatu yang entah apa. Bagaikan kerlip permukaan berlian, kita menikmatinya sekejap saja. Sebuah momen bercahaya yang memantulkan cahaya ilahiah, yang tak lebih dari sedetik, namun membekas sepanjang hayat.

Bisa juga tidak sama sekali.

Tirai hujan tiba-tiba buyar. Adzan maghrib menghempasku kembali ke balkon duniaku. Sebuah dunia yang terus menawarkan pertanyaan yang sama, "Seberapa jauh kita sudah mengenal Allah?"

Aku sholat dan berharap menemukan jawabannya disana. Agaknya malam ini tak lagi segelap dulu. Atau, mungkin aku sudah tak peduli lagi dengan pertanyaan itu. Bukankah siang hari pun kita bisa tak melihat apapun?

Ketika mata kita terpejam.

Kitalah yang memilih untuk membuka mata atau terpejam dan tidur panjang.
(Diambil dari emailku kepada RM)
Baca selengkapnya...

16 November 2007

The Magic of "What If"

photo by wahyu hs

Mulailah bertanya dengan "what if", "bagaimana jika", maka semua hal akan berkembang nyaris tak terkendali. Inilah salah satu trick populer yang dipakai para penulis untuk mengembangkan sebuah gagasan.

Gagasan dasarnya adalah (misalnya): "Lukisan asli Monalisa hilang secara misterius. Semua pihak melakukan pelacakan habis-habisan." Lalu apa? Semua orang saling sadap informasi, terjadi perburuan ke seluruh penjuru dunia, mungkin diselingi dengan kemunculan Monalisa palsu disana-sini, dan seterusnya hingga tokoh utama berhasil menemukannya? Penulis yang kritis tidak akan puas begitu saja. Itu plot yang sangat gampang dan mudah ditebak. Tidak menantang, kemudian ia merasa kena "macet", dan keyboard pun dibanting karena kesal.


Coba pertanyakan ide itu dengan "bagaimana jika", maka jutaan pintu kemungkinan akan terbuka, tergantung seberapa kuat imajinasi kita bekerja.

"Bagaimana jika lukisan seharga milyaran rupiah yang hilang itu teronggok begitu saja di dinding rumah seorang pemulung, yang sama sekali tidak tahu nilai sebuah lukisan masterpiece? Ia menemukannya di jalan dan membawanya pulang hanya karena menganggapnya sebagai wanita cantik yang pantas dipajang. Maka, sang pemulung hanya bisa terheran-heran, mengapa mendadak banyak orang-orang tak dikenal berseliweran atau bertandang ke gubuknya, bahkan ada yang masuk diam-diam. Kemudian, bagaimana jika sang pemulung akhirnya menyadari nilai lukisan itu? Maka, sekali dalam seumur hidupnya ia harus berurusan dengan uang bernilai milyaran rupiah sekaligus dengan nyawa terancam. Ia merasa kedamaian hidupnya hilang. Bagaimana jika ia nekat dan membakar masterpiece itu supaya tidak ada lagi orang yang datang mengganggu? Bukankah seluruh dunia akan menangis? Sang pemulung akan menjadi orang yang paling dikutuk. Bagaimana jika ia tidak kuat menahan beban batin itu? Apakah ia akan bunuh diri? Seorang pemulung Bantar Gebang membunuh dirinya sendiri karena Monalisa. Dan seterusnya ... sampai semua kemungkinan memenuhi benak kita."

Coba lagi dengan gagasan yang lain: "kehidupan Cinderella dan Sang Pangeran pasca perkawinan."

"Bagaimana jika ternyata Cinderella mandul? Sang Pangeran yang telah menjadi raja itu kemudian berniat menikah lagi demi mendapatkan keturunan untuk meneruskan tahta kerajaan. Sebagai permaisuri, Cinderella mungkin tak kuasa menentang poligami, yang sudah lazim dilakukan oleh para raja. Bagaimana jika Cinderella bersedia dimadu dengan syarat, calon selir itu harus didapatkan seperti Sang Pangeran dulu mendapatkan dirinya? Calon selirnya haruslah perempuan yang ukuran kakinya sama dengan Cinderella. Cinderella yakin, tidak ada yang menyamai ukuran kakinya, karena memang kakinya sebetulnya agak cacat sedikit. Sang Pangeran tidak keberatan. Ia pun mengadakan pesta yang dihadiri perempuan-perempuan tercantik negerinya. Lalu, ia menyuruh mereka mencoba sepatu Cinderella. Dari sekian puluh perempuan, ternyata hanya satu orang yang ukuran kakinya cocok dengan Cinderella. Sang Pangeran langsung menunjuknya menjadi calon selir di hadapan khalayak. Lalu, bagaimana jika perempuan cantik itu ternyata seorang banci?"

That's the magic of "what if".
Baca selengkapnya...

10 November 2007

Televisi vs Pemirsa; Siapa yang Mendikte?

photo by wahyu hs

Acara heboh "Empat Mata" tidak berawal dari permintaan penonton televisi. Tahu-tahu acara itu dirilis oleh produsernya dan Tukul melejit dengan mantra populernya: "kembali ke laptop". Program ini menjadi talk show paling favorit selama beberapa bulan dengan pemasukan iklan yang luar biasa. Sebelum "Empat Mata", siapa yang peduli dengan Tukul? Berani sekali produser memasang pelawak yang seakan tak kunjung melejit karirnya. Acara ini muncul di tengah hebohnya era sinetron-sinetron remaja.

Beberapa tahun sebelumnya, sinetron sejenis "Rahasia Ilahi", "Hidayah", dan sebagainya, merajai beberapa stasiun televisi kita sebagai program unggulan. Apakah sinetron-sinetron tersebut merupakan hasil diskusi atau pendiktean dari pemirsa? Setahu saya bukan. Itu inisiatif produser dan tim kreatifnya.


Acara-acara berita selama ini cenderung monoton; baik di TVRI maupun swasta. Kemudian, muncul program berita khusus bertopik berita-berita kriminal. Maka (saya lupa siapa yang memulai) muncullah siaran berita "Patroli", "Buser", dan sejenisnya. Ini menjadi tontonan menarik dan sangat disukai pemirsa. Kurang-lebih berbarengan dengan trend itu, muncul trend yang lain. Infotainment. Dan para penggagas program-program tersebut, setahu saya, nggak pernah diusuli oleh penonton kecuali oleh dirinya sendiri. Apalagi didikte.

Lalu, di era sinetron penuh siksa, azab, dan ABG pacaran, muncullah serial "Kiamat Sudah Dekat" yang tampil di luar tema biasanya. Sempat meraih rating tertinggi dengan pemasukan iklan spektakuler (kurang-lebih 3o spot per commercial break), bahkan jadi tontonan Presiden, sinetron ini memaksa penonton menoleh ke arahnya sampai tiga musim.

Masih ingat ledakan monumental film "Ada Apa dengan Cinta?" dan "Sherina"? Setahu saya, film-film itu diproduksi bukan karena adanya sejuta tanda tangan masyarakat or whatever.

Film "Nagabonar Jadi 2". Bahkan tak ada yang pernah membayangkan akan muncul sekuelnya, apalagi setelah meninggalnya Asrul Sani, sang kreator.

Kasus terakhir, sinetron "Para Pencari Tuhan" diluncurkan justru di tengah trend "tradisi" variety show di malam-malam bulan Ramadhan yang sudah berjalan bertahun-tahun. Langsung merebut pangsa pemirsa hampir 50 persen, sinetron ini pun bukan hasil pendiktean trend atau pemirsa.

So, masih layakkah kita untuk meyakini bahwa masyarakat (pemirsa) merupakan satu-satunya pihak yang melakukan pendiktean terhadap film dan sinetron kita? Ketika masyarakat berteriak "Kami hanya ingin menonton melodrama!", misalnya, itu bukan indikasi pendiktean. Itu, menurut saya, hanyalah sekedar permintaan pasar yang wajar terhadap hal-hal yang sedang disukai. Ketika pasar sedang gandrung DVD bajakan, apakah itu berarti kios sembako harus tutup dan merubah jualannya? Bintang jatuh selalu menjadi momen indah, tapi jangan lupakan matahari yang setiap hari menyinari kita. Sedangkan bintang jatuh tak pernah menjadi satu-satunya benda langit yang paling menakjubkan. Begitu pula halnya apa yang kita sebut "permintaan pasar".

Para kreatorlah yang melakukan pendiktean kebutuhan masyarakat. Pesawat radio, televisi, komputer, telepon, handphone, film cerita, koran, liga sepakbola dunia, mobil, satelit, pesawat terbang, dan seterusnya ... semuanya ditemukan dan didiktekan oleh para kreator. Masyarakat tinggal terima jadi dengan status "konsumen". Masyarakat bersedia menjadi konsumen produk-produk budaya manusia ketika merasakan manfaatnya. Minimal, merasakan kesenangannya. Tak peduli apakah itu produk baru atau lama. Kenal biskuit legendaris "Khong Guan"? Itu salah satu merek biskuit lawas banget dari jaman kakek-nenek kita masih kecil dan masih beredar sampai hari ini. Bahkan disain blek-nya berikut ilustrasi gambarnya sama sekali nggak dirubah, meskipun merek-merek baru bertebaran dengan kemasan yang lebih "in". "Khong Guan" sudah menciptakan fanatisme komunitas tersendiri dan turut "mendikte" konsumsi snack keluarga Indonesia selama beberapa generasi.

Menurut saya, masyarakat (dalam hal ini, pemirsa) cukup toleran menerima asupan apapun di layar lebar maupun layar kaca. Tuntutannya hanya satu: menarik, syukur-syukur baik.

Jadi, siapa sebetulnya yang bermasalah? Gagasan besar dan baik, bahkan penting, seringkali gagal menjadi kebutuhan masyarakat hanya karena masalah sepele: tampil tidak menarik. Untuk menjadi menarik, jelas, butuh kreativitas tinggi. I hope we have found the real problem now.
Baca selengkapnya...