Ini sudah hari ketiga Komo hanya duduk memelototi komputer sambil meremas rambut. Ibunya sampai khawatir dan berniat membawanya ke dokter, khawatir anak kesayangannya terkena serangan angin duduk atau apalah yang kira-kira mirip. Tinggal satu hari lagi menjelang deadline dan Komo belum menemukan ide cerita yang membuatnya bergerak menulis. Serba mampet dan macet. Setiap kali dapat satu paragraf, setiap kali pula dihapusnya sendiri. Profesi menulis mendadak jadi kutukan untuknya.
Menginjak hari ketujuh, sang produser FTV habis kesabaran dan memutuskan memakai naskah penulis lain. Kemana si Komo? Main PS di game zone bareng anak-anak sekolahan karena nggak tahu harus gimana lagi.
Sama dengan profesi lain, menulis butuh sistematika, metode, dan etos kerja serius. Salah satu unsur utama dari proses karang-mengarang adalah "ide". Menulis dengan dan tanpa ide akan membedakan antara seorang penulis dengan juru ketik. Penulis skripsi tentu berbeda dengan tukang ketik skripsi. Masalahnya, ide seringkali ngumpet ketika dibutuhkan. Bagaimana akan menulis tanpa kehadiran ide? Itu artinya, tidak tahu apa yang mesti ditulis.
"Itulah, sudah lapar baru cari kerja," kata ustadz saya suatu saat. Saya menghubungkan perkataan itu dengan etos kerja kita. Kita memang sering berdalih "kreativitas muncul di saat-saat kritis". Saya sendiri pernah mengalami keberuntungan seperti itu, tapi jarang. Dan itu tidak bisa diandalkan selalu ada. Justru dalam keadaan mumpung lagi kenyang dan bertenaga, kita sibuk mencari pekerjaan atau mempersiapkannya.
Buatlah rencana, konsep, atau sekedar coret-coretan, meskipun belum ada produser atau penerbit yang memesannya. Bukankah pekerjaan penulis adalah menulis? Dalam keadaan santai tanpa deadline, kita akan lebih bebas mengerahkan imajinasi dan kreativitas. Kita akan punya waktu untuk melakukan evaluasi dan revisi atas karya kita.
Yang juga penting adalah kebiasaan mencatat semua ide yang sering muncul tiba-tiba. Walaupun ide itu mungkin sekedar potongan dialog, adegan, kalimat bijak, karakter, script iklan, lirik, puisi, jargon, sinopsis, atau bahkan sekedar judul, catat. Sangat dianjurkan kita punya buku kecil untuk mencatat semua itu secara cepat dan mudah. Jangan mengandalkan daya ingat, karena dalam kehidupan jaman sekarang, terlalu banyak hal yang menuntut penggunaan memori di kepala kita. Saya punya beberapa ikat sobekan kertas dan buku kecil yang berisi segala macam ide, termasuk ide-ide yang tidak mungkin atau tidak layak diwujudkan. Pada waktu-waktu tertentu, saya salin semuanya di komputer, saya pilah berdasarkan kategori-kategori tertentu. Dan bila saatnya tiba, file-file itu akan sangat berguna membantu kita mulai menulis, tanpa perlu meremas rambut tiga hari tiga malam seperti si Komo. Beberapa kali saya "diselamatkan" oleh file-file kecil itu ketika sedang kesulitan menggarap dialog, menyusun plot, atau ide cerita.
Intinya adalah, kita akan selalu punya rencana dan nggak pernah mati gaya. Profesi menulis butuh disiplin tinggi dan kemauan kuat plus kreativitas yang didukung wawasan. Pekerjaan yang nggak main-main ini jangan dibiarkan macet hanya karena tanpa ide. Padahal, justru ide itu langkah awal. Penulis profesional biasanya mempersiapkan diri untuk menghadapi masa-masa tanpa job, tapi penulis profesional juga harus mempersiapkan diri menghadapi banjir order. Kesempatan emas itu bisa hilang hanya karena kita gagal menemukan ide di saat-saat yang dibutuhkan. Sayang, kan?
Akhirul kata, apakah itu semua sudah cukup? Belum. Kita akan memasuki tahapan pengembangan ide, menyusun sinopsis, riset, dan seterusnya hingga hasil akhir. Kapan-kapan saja kita bahas. (***)