25 December 2007

Konsistensi Karakter

photo by wahyu hs


Cerita bagus saja belum cukup tanpa tokoh-tokoh yang kuat. Merekalah yang akan menghidupkan plot cerita, memercikkan momen-momen berharga dalam setiap adegan, menjadi representasi pembaca/penonton, menjadikan cerita lebih "bernyawa". Tokoh-tokoh yang ditampilkan secara baik akan membuat cerita paling mustahil sekalipun menjadi masuk akal.



Tokoh cerita yang baik haruslah konsisten. Ini semua ada dalam konsep. Jika sang tokoh adalah seorang berkepribadian labil, maka tidak realistis jika ia tampil sebagai tokoh yang memiliki kemauan kuat dan fokus pada tujuan hidupnya. Hal ini akan tercermin pada sikap dan dialognya. Cinderella yang lembut, penurut, dan sensitif, menjadi sangat realistis ketika tidak bisa keluar dari tekanan ibu dan saudara-saudara tirinya. Ia tidak memiliki kekuatan seorang pemberontak. Ia harus diselamatkan oleh seorang pangeran. Bayangkan kalau tiba-tiba Cinderella melawan semua tekanan itu dengan sangat heroik bak seorang Wonder Woman dengan kata-kata pedas. Karakternya akan "rusak" dan malah jadi aneh. Atau, tokoh Abu Nawas yang mendadak mati akal dan kehabisan kata-kata. Kita akan kecewa karena Abu Nawas tidak tampil sebagaimana seharusnya. Dalam kehidupan nyata, memang, tokoh-tokoh seperti Abu Nawas tidak selalu tampil brilian. Namun, dalam kehidupan fiksi, yang notabene merupakan rekayasa sistematis seorang pengarang, tokoh cerita harus konsisten sesuai konsep agar mewakili tipikal tertentu secara utuh dalam sebuah plot cerita. Dengan demikian, cerita akan mengalir ke arah yang benar dengan cara yang baik berkat bantuan tokoh-tokohnya.

Penulis haruslah menjadi orang yang paling mengenal tokoh-tokohnya sendiri seolah mereka adalah anak-anaknya. Penulis harus faham cara berpikir sang tokoh, gaya bicaranya, sikap hidupnya, cita-citanya, kegemarannya, kelebihan dan kekurangannya. Jika ini sudah dikuasai, maka yang tampil bukan lagi karakter si penulis, melainkan karakter si tokoh itu sendiri. Tokoh dalam ceritamu akan menjadi "hidup" dan masuk akal.

Buatlah semacam curriculum vitae bagi tokoh-tokoh dalam cerita meskipun tidak semua item itu akan ditampilkan. Rancanglah (baik tertulis maupun dalam bayangan kamu) mulai dari jenis kelamin, umur, zodiak, pendidikan terakhir, level pergaulan, minat, gaya bicara, pandangan hidupnya, selera seksualnya, dan seterusnya sesuai kebutuhan. Kita bisa mengambil model dari manusia-manusia "nyata" di sekitar kita untuk kemudian dikembangkan atau dimampatkan sesuai kebutuhan. Setelah itu, kenali dan hayati tokoh tersebut secara sungguh-sungguh sehingga kamu bisa menampilkannya dengan realistis. Konsisten.

Contoh kasus: "Suatu saat dalam sebuah perdebatan filsafat, Abu Nawas kehabisan amunisi untuk membalas perkataan seseorang". Bagaimana menggambarkan kekalahan Abu Nawas, yang biasanya mahir berkelit dan berkilah? Apakah dia harus terdiam dengan wajah merah kemudian ngucluk pergi? Jelas, ini bukan karakter seorang Abu Nawas. Karena kemahiran Abu Nawas adalah berkata-kata, maka tokoh ini harus diberi dialog untuk mengiringi kekalahannya. Ada beberapa pilihan. Dia akan berkata dengan serius, "Hanya Allah yang tak terkalahkan, sedangkan aku manusia biasa." Kilah yang sangat baik, tapi tidak lucu. Padahal, Abu Nawas sudah "ditakdirkan" selalu lucu dalam situasi apapun. Beri dia dialog, misalnya, "Saya kurang mengerti maksud Anda. Coba katakan sekali lagi tapi dalam bahasa isyarat." Jelas, ini permintaan yang tidak masuk akal, tapi cukup untuk mempertahankan konsistensi karakter tokoh cerita kita.

Rancang dan garaplah tokoh ceritamu sebaik mungkin. Tokoh-tokoh dengan karakter yang konsisten akan menambah bobot kredibilitas sebuah cerita, sekaligus kredibilitas kamu sebagai seorang kreator. (***)
Baca selengkapnya...

09 December 2007

Flash Fiction: "SANG PRESIDEN"

"Maaf, Pak Presiden, saya tidak butuh mereka disini."

Sopan tapi tegas, cukup untuk membuat sang Presiden menyuruh para pengawalnya keluar. Ada sebuah kepribadian kuat yang tak bisa ditentang dari orang itu. Semacam wibawa dan kharisma aneh, yang membuat semua orang tertunduk patuh. Seandainya saja aku punya kharisma seperti itu, mungkin akan lebih mudah memerintah negeri ini, pikir sang Presiden. Ia benci situasi ini. Ia benci berada dalam posisi terpojok dan harus meminta bantuan. Tidak selayaknya seorang kepala negara membiarkan dirinya lemah tanpa perlindungan.

Oleh Wahyu HS



"Kalau bapak menuruti nasehat saya, bencana ini masih bisa dicegah."

"Saya memang bersalah," jawab sang Presiden dengan suara lirih. Ia sendiri tak percaya akan bisa mengucapkan kalimat pecundang seperti itu. Ia menghela napas tertahan dan menyandar lesu di kursinya. Tenaganya seakan menguap oleh sorot mata berwibawa orang itu yang penuh tuduhan. Serangkaian tuduhan yang tak dapat disangkal karena semua bukti telah terpampang dengan jelas di depan mata. Ia tak bisa membantah dan itulah yang membuat posisinya menjadi lemah seperti sekarang. Seandainya saja ia bisa memutar balik waktu dan memperbaiki semuanya. Tentu saja, itu tidak mungkin. Sudah terlambat. Waktu hanya berputar ke depan, membiarkan kesalahan menjadi penyesalan.

"Kesalahan bapak kali ini berakibat fatal. Bahkan jika seluruh menteri kabinet mau berkorban, tak pernah cukup untuk menutupi ini."

"Ooohh ...." keluh sang Presiden. "Jadi ... harus bagaimana?"

Orang itu menghela napas berat, memandang presidennya dengan prihatin sambil mengarahkan lampu ke mulut sang presiden yang terbuka.

"Gigi bapak harus dicabut. Tidak bisa ditambal lagi." [Fin]


Baca selengkapnya...

07 December 2007

"Menulis" Sebelum Menulis

photo by wahyu hs

Secara tumben (???), Komo diminta menulis skenario FTV oleh produser kenalannya. Sebagai penulis muda yang baru merintis karir, ia menyambutnya dengan semangat seorang Gen-X yang selalu heboh. Dia menyanggupi menyelesaikan naskah sepanjang 72 halaman itu dalam tempo empat hari. Mungkin, inilah batu loncatan karirku sebagai penulis, jawaban dari doa-doaku yang tak pernah putus, pikirnya. Tuhan memang menjawab doa Komo dengan memberikan job menulis, tapi ternyata Komo sendiri tidak meresponnya dengan layak. Apa yang terjadi?



Ini sudah hari ketiga Komo hanya duduk memelototi komputer sambil meremas rambut. Ibunya sampai khawatir dan berniat membawanya ke dokter, khawatir anak kesayangannya terkena serangan angin duduk atau apalah yang kira-kira mirip. Tinggal satu hari lagi menjelang deadline dan Komo belum menemukan ide cerita yang membuatnya bergerak menulis. Serba mampet dan macet. Setiap kali dapat satu paragraf, setiap kali pula dihapusnya sendiri. Profesi menulis mendadak jadi kutukan untuknya.
Menginjak hari ketujuh, sang produser FTV habis kesabaran dan memutuskan memakai naskah penulis lain. Kemana si Komo? Main PS di game zone bareng anak-anak sekolahan karena nggak tahu harus gimana lagi.

Sama dengan profesi lain, menulis butuh sistematika, metode, dan etos kerja serius. Salah satu unsur utama dari proses karang-mengarang adalah "ide". Menulis dengan dan tanpa ide akan membedakan antara seorang penulis dengan juru ketik. Penulis skripsi tentu berbeda dengan tukang ketik skripsi. Masalahnya, ide seringkali ngumpet ketika dibutuhkan. Bagaimana akan menulis tanpa kehadiran ide? Itu artinya, tidak tahu apa yang mesti ditulis.

"Itulah, sudah lapar baru cari kerja," kata ustadz saya suatu saat. Saya menghubungkan perkataan itu dengan etos kerja kita. Kita memang sering berdalih "kreativitas muncul di saat-saat kritis". Saya sendiri pernah mengalami keberuntungan seperti itu, tapi jarang. Dan itu tidak bisa diandalkan selalu ada. Justru dalam keadaan mumpung lagi kenyang dan bertenaga, kita sibuk mencari pekerjaan atau mempersiapkannya.

Buatlah rencana, konsep, atau sekedar coret-coretan, meskipun belum ada produser atau penerbit yang memesannya. Bukankah pekerjaan penulis adalah menulis? Dalam keadaan santai tanpa deadline, kita akan lebih bebas mengerahkan imajinasi dan kreativitas. Kita akan punya waktu untuk melakukan evaluasi dan revisi atas karya kita.

Yang juga penting adalah kebiasaan mencatat semua ide yang sering muncul tiba-tiba. Walaupun ide itu mungkin sekedar potongan dialog, adegan, kalimat bijak, karakter, script iklan, lirik, puisi, jargon, sinopsis, atau bahkan sekedar judul, catat. Sangat dianjurkan kita punya buku kecil untuk mencatat semua itu secara cepat dan mudah. Jangan mengandalkan daya ingat, karena dalam kehidupan jaman sekarang, terlalu banyak hal yang menuntut penggunaan memori di kepala kita. Saya punya beberapa ikat sobekan kertas dan buku kecil yang berisi segala macam ide, termasuk ide-ide yang tidak mungkin atau tidak layak diwujudkan. Pada waktu-waktu tertentu, saya salin semuanya di komputer, saya pilah berdasarkan kategori-kategori tertentu. Dan bila saatnya tiba, file-file itu akan sangat berguna membantu kita mulai menulis, tanpa perlu meremas rambut tiga hari tiga malam seperti si Komo. Beberapa kali saya "diselamatkan" oleh file-file kecil itu ketika sedang kesulitan menggarap dialog, menyusun plot, atau ide cerita.

Intinya adalah, kita akan selalu punya rencana dan nggak pernah mati gaya. Profesi menulis butuh disiplin tinggi dan kemauan kuat plus kreativitas yang didukung wawasan. Pekerjaan yang nggak main-main ini jangan dibiarkan macet hanya karena tanpa ide. Padahal, justru ide itu langkah awal. Penulis profesional biasanya mempersiapkan diri untuk menghadapi masa-masa tanpa job, tapi penulis profesional juga harus mempersiapkan diri menghadapi banjir order. Kesempatan emas itu bisa hilang hanya karena kita gagal menemukan ide di saat-saat yang dibutuhkan. Sayang, kan?

Akhirul kata, apakah itu semua sudah cukup? Belum. Kita akan memasuki tahapan pengembangan ide, menyusun sinopsis, riset, dan seterusnya hingga hasil akhir. Kapan-kapan saja kita bahas. (***)
Baca selengkapnya...

28 November 2007

Flash Fiction: "DUA ONS"

photo by wahyu hs

"Sejak kapan Anda menyadari kebiasaan mengatakan 'dua ons' di akhir setiap kalimat Anda?"

Oleh Wahyu HS

Bonji menunduk, ragu untuk menjawab pertanyaan psikiaternya. Aku hanya akan mempermalukan diriku lagi, pikirnya jengkel. Sekilas, diliriknya sang psikiater yang tetap bicara sambil menutup mulutnya dengan tangan. Bajingan ini mungkin sedang berusaha keras menahan rasa geli menghadapi pasiennya, pikir Bonji sengit. Tapi kemudian ia ingat bahwa ia kesini untuk konsultasi dan ia membayar. Ia tak mau rugi dan harus mengalahkan harga dirinya.


"Sejak ... sejak dua bulan yang lalu, dok," jawab Bonji lalu menunduk dan meneruskan lirih, "... dua ons. Saya ... saya sedang menimbang gula di warung sebanyak dua ons, lalu tiba-tiba seekor kucing jatuh dari atap menimpa saya. Dua ons. Ehm ... saya kaget dan berteriak, dua ons, dua ons. Sejak itulah ... dua ons."

Sang psikiater mengangguk-angguk tersenyum lembut, seolah ingin mengatakan bahwa kebiasaan itu bukan sesuatu yang memalukan ataupun berbahaya. Bonji tetap saja tak menyukainya.

"Ini memang penyakit langka," kata sang psikiater sembari menulis resep obat penenang ringan. "Bahkan, belum tentu sebuah penyakit. Masih dalam penelitian. Untuk sementara, cobalah Anda bersikap tenang dan mulai belajar untuk lebih banyak diam. Bicara yang perlu-perlu saja."

"Baik, dok. Terima kasih," jawab Bonji. Bibirnya bergetar menahan "dua ons" yang siap meluap. Kata-kata itu menteror heboh di ujung bibirnya bagai serombongan monyet liar.

"Tahan. Tenang. Tarik napas pelan-pelan dan dalam," kata sang psikiater yang kembali mulai menutupi mulutnya dengan tangan. Bonji sebal sekali melihatnya, tapi toh ia menuruti saja perintahnya. Dalam posisi tetap duduk, ia menarik napas dalam-dalam, perlahan, lalu menghembuskannya hati-hati hingga hembusan terakhir. Dadanya terasa mau meledak menahan getaran udara, sementara bibirnya berjuang menekan teror "dua ons" itu.

"Fffhhh ...."

"Bagus. Tuh, bisa kan?"

"Terima kasih, dok. Dua ons."

Sang psikiater menarik laci entah mencari apa, tapi Bonji tahu bedebah ini hanya berusaha menutupi rasa gelinya. Bonji berjanji, kalau sampai keparat ini terlepas tawa, ia akan menonjoknya persis di mulut.

“Tidak apa, latihan saja terus. Kuncinya adalah kesabaran dan telaten.”

Bonji keluar dari ruang praktek psikiater itu dengan membawa selembar resep. Tak yakin, apakah ia akan sembuh atau tidak. Yang jelas, ia lega sudah tidak melihat tampang psikiater itu lagi. Tertawalah sepuasmu dan aku tak akan peduli, sungut Bonji dalam hati.

Sang psikiater tercenung di mejanya dengan kening berkerut. Matanya nanar menatap pintu yang tertutup. Tak berapa lama, asistennya yang cantik masuk dan langsung mengunci pintu. Tersenyum lembut seperti biasanya sambil berjalan menghampiri.

“Orangnya sudah jauh, dok, dan tidak ada siapa-siapa lagi di ruang tunggu. Masih ingin?” Ia berdiri di belakang kursi sang psikiater. Tangannya yang lentik mulai memijit punggungnya.
Sang psikiater mengangguk. Ia menengadah dengan mata terpejam. Ditariknya napas dalam-dalam, seperti yang ia ajarkan kepada pasiennya tadi. Beberapa saat ia menahan napas untuk kemudian, perlahan sekali, menghembuskannya sedikit demi sedikit. Gadis asisten itu lembut tersenyum untuk memberinya semangat.

“Ayo, dokter pasti bisa.”

Sang psikiater menghembuskan desah terakhirnya, “Fffhhh ... empat kilo, empat kilo, empat kilo, empat kilo, empat kilo .... kampret! Lima kilo, lima kilo, lima kilo ....” [Fin]


Baca selengkapnya...

24 November 2007

Waktu Hujan Sore-sore

photo by wahyu hs

Sore itu aku lagi nggak butuh musik. Cukup aku, secangkir kopi hangat, kursi tua, balkon, rasa malas, dan mendung sore hari. Kami secara kompak telah membentuk komposisi musikal terindah, yang tak dapat dilakukan komposer manapun. Mereka bisa menciptakan ratusan lagu sepanjang hidupnya, tapi tak ada yang mampu menciptakan satu detik momen pun untuk kita kecuali diri kita sendiri. Sore ini aku nggak butuh mereka. Gerimis sudah cukup membuatku bernyanyi dalam lamunan panjang bersama istighfar lirih.


Hujan mulai turun. Curahnya membentuk tirai bening di depan balkon, seolah hendak menghalangiku dari gelap yang dingin di luar sana. Untuk apa? Bukankah gelap itu telah menjadi batas dengan sendirinya? Ataukah telah menyatu dalam darahku hingga tak lagi bermakna? Ini permainan hidup yang berbahaya. Detik demi detik berlalu menghanyutkan semua momen. Pagi kita beriman, sore kafir, lalu tengah malam tergagap mencari cahaya. Ada yang tak kusukai disini. Mengapa hanya cahaya yang bisa menyelamatkan kita dalam gelap? Mengapa tak ada alternatif lain? Siapa yang mengatur dan membatasi semua ini?

Apa yang dipikirkan Adam dalam momen pertama hidupnya? Manusia dan nabi pertama, termulia dari semua makhluk, terlahir dengan satu software aplikasi yang tak dimiliki makhluk lainnya, yakni kemampuan untuk memilih dan menentukan sikap menurut akal dan kata hatinya. Tapi, sesungguhnya tak pernah benar-benar bebas. Kita terkurung oleh kemapanan siang dan malam, terpaku pada gravitasi, dan hanya bisa menghirup udara yang sama. Kita tak pernah punya cukup tempat untuk membebaskan diri dari kekuasaan Sang Pencipta, yang telah mendikte dunia sejak terlontarnya "kun fa yakun!" Bahkan pikiran pun ada batasnya. Bahkan imajinasipun masih terhitung. Bahkan ilusipun masih menampakkan bayangannya. Bahkan halusinasipun masih di sekitar kita. Bahkan kiamat pun semakin dekat. Tak ada yang menjauhkan kita dari apapun, apalagi dari Allah. Berapa jarak yang telah kita tempuh hingga batas usia? Bahkan sebagian dari kita tak pernah keluar dari kota ini.

Kita hidup dalam pola yang tersusun sistematis, terlempar dari satu titik ke titik lain. Morpheous mengajak Neo keluar dari kekangan matrix dengan meliarkan imajinasi dan kemauannya, tapi mereka tak pernah lebih jauh dari cakrawala. Mereka bergerak bebas, tapi masih terikat oleh hukum alam yang solid.

Tak ada yang bebas.

Kita tak pernah punya daya. Kita hanya punya momen-momen kecil yang menuntun kita pada sesuatu yang entah apa. Bagaikan kerlip permukaan berlian, kita menikmatinya sekejap saja. Sebuah momen bercahaya yang memantulkan cahaya ilahiah, yang tak lebih dari sedetik, namun membekas sepanjang hayat.

Bisa juga tidak sama sekali.

Tirai hujan tiba-tiba buyar. Adzan maghrib menghempasku kembali ke balkon duniaku. Sebuah dunia yang terus menawarkan pertanyaan yang sama, "Seberapa jauh kita sudah mengenal Allah?"

Aku sholat dan berharap menemukan jawabannya disana. Agaknya malam ini tak lagi segelap dulu. Atau, mungkin aku sudah tak peduli lagi dengan pertanyaan itu. Bukankah siang hari pun kita bisa tak melihat apapun?

Ketika mata kita terpejam.

Kitalah yang memilih untuk membuka mata atau terpejam dan tidur panjang.
(Diambil dari emailku kepada RM)
Baca selengkapnya...

16 November 2007

The Magic of "What If"

photo by wahyu hs

Mulailah bertanya dengan "what if", "bagaimana jika", maka semua hal akan berkembang nyaris tak terkendali. Inilah salah satu trick populer yang dipakai para penulis untuk mengembangkan sebuah gagasan.

Gagasan dasarnya adalah (misalnya): "Lukisan asli Monalisa hilang secara misterius. Semua pihak melakukan pelacakan habis-habisan." Lalu apa? Semua orang saling sadap informasi, terjadi perburuan ke seluruh penjuru dunia, mungkin diselingi dengan kemunculan Monalisa palsu disana-sini, dan seterusnya hingga tokoh utama berhasil menemukannya? Penulis yang kritis tidak akan puas begitu saja. Itu plot yang sangat gampang dan mudah ditebak. Tidak menantang, kemudian ia merasa kena "macet", dan keyboard pun dibanting karena kesal.


Coba pertanyakan ide itu dengan "bagaimana jika", maka jutaan pintu kemungkinan akan terbuka, tergantung seberapa kuat imajinasi kita bekerja.

"Bagaimana jika lukisan seharga milyaran rupiah yang hilang itu teronggok begitu saja di dinding rumah seorang pemulung, yang sama sekali tidak tahu nilai sebuah lukisan masterpiece? Ia menemukannya di jalan dan membawanya pulang hanya karena menganggapnya sebagai wanita cantik yang pantas dipajang. Maka, sang pemulung hanya bisa terheran-heran, mengapa mendadak banyak orang-orang tak dikenal berseliweran atau bertandang ke gubuknya, bahkan ada yang masuk diam-diam. Kemudian, bagaimana jika sang pemulung akhirnya menyadari nilai lukisan itu? Maka, sekali dalam seumur hidupnya ia harus berurusan dengan uang bernilai milyaran rupiah sekaligus dengan nyawa terancam. Ia merasa kedamaian hidupnya hilang. Bagaimana jika ia nekat dan membakar masterpiece itu supaya tidak ada lagi orang yang datang mengganggu? Bukankah seluruh dunia akan menangis? Sang pemulung akan menjadi orang yang paling dikutuk. Bagaimana jika ia tidak kuat menahan beban batin itu? Apakah ia akan bunuh diri? Seorang pemulung Bantar Gebang membunuh dirinya sendiri karena Monalisa. Dan seterusnya ... sampai semua kemungkinan memenuhi benak kita."

Coba lagi dengan gagasan yang lain: "kehidupan Cinderella dan Sang Pangeran pasca perkawinan."

"Bagaimana jika ternyata Cinderella mandul? Sang Pangeran yang telah menjadi raja itu kemudian berniat menikah lagi demi mendapatkan keturunan untuk meneruskan tahta kerajaan. Sebagai permaisuri, Cinderella mungkin tak kuasa menentang poligami, yang sudah lazim dilakukan oleh para raja. Bagaimana jika Cinderella bersedia dimadu dengan syarat, calon selir itu harus didapatkan seperti Sang Pangeran dulu mendapatkan dirinya? Calon selirnya haruslah perempuan yang ukuran kakinya sama dengan Cinderella. Cinderella yakin, tidak ada yang menyamai ukuran kakinya, karena memang kakinya sebetulnya agak cacat sedikit. Sang Pangeran tidak keberatan. Ia pun mengadakan pesta yang dihadiri perempuan-perempuan tercantik negerinya. Lalu, ia menyuruh mereka mencoba sepatu Cinderella. Dari sekian puluh perempuan, ternyata hanya satu orang yang ukuran kakinya cocok dengan Cinderella. Sang Pangeran langsung menunjuknya menjadi calon selir di hadapan khalayak. Lalu, bagaimana jika perempuan cantik itu ternyata seorang banci?"

That's the magic of "what if".
Baca selengkapnya...

10 November 2007

Televisi vs Pemirsa; Siapa yang Mendikte?

photo by wahyu hs

Acara heboh "Empat Mata" tidak berawal dari permintaan penonton televisi. Tahu-tahu acara itu dirilis oleh produsernya dan Tukul melejit dengan mantra populernya: "kembali ke laptop". Program ini menjadi talk show paling favorit selama beberapa bulan dengan pemasukan iklan yang luar biasa. Sebelum "Empat Mata", siapa yang peduli dengan Tukul? Berani sekali produser memasang pelawak yang seakan tak kunjung melejit karirnya. Acara ini muncul di tengah hebohnya era sinetron-sinetron remaja.

Beberapa tahun sebelumnya, sinetron sejenis "Rahasia Ilahi", "Hidayah", dan sebagainya, merajai beberapa stasiun televisi kita sebagai program unggulan. Apakah sinetron-sinetron tersebut merupakan hasil diskusi atau pendiktean dari pemirsa? Setahu saya bukan. Itu inisiatif produser dan tim kreatifnya.


Acara-acara berita selama ini cenderung monoton; baik di TVRI maupun swasta. Kemudian, muncul program berita khusus bertopik berita-berita kriminal. Maka (saya lupa siapa yang memulai) muncullah siaran berita "Patroli", "Buser", dan sejenisnya. Ini menjadi tontonan menarik dan sangat disukai pemirsa. Kurang-lebih berbarengan dengan trend itu, muncul trend yang lain. Infotainment. Dan para penggagas program-program tersebut, setahu saya, nggak pernah diusuli oleh penonton kecuali oleh dirinya sendiri. Apalagi didikte.

Lalu, di era sinetron penuh siksa, azab, dan ABG pacaran, muncullah serial "Kiamat Sudah Dekat" yang tampil di luar tema biasanya. Sempat meraih rating tertinggi dengan pemasukan iklan spektakuler (kurang-lebih 3o spot per commercial break), bahkan jadi tontonan Presiden, sinetron ini memaksa penonton menoleh ke arahnya sampai tiga musim.

Masih ingat ledakan monumental film "Ada Apa dengan Cinta?" dan "Sherina"? Setahu saya, film-film itu diproduksi bukan karena adanya sejuta tanda tangan masyarakat or whatever.

Film "Nagabonar Jadi 2". Bahkan tak ada yang pernah membayangkan akan muncul sekuelnya, apalagi setelah meninggalnya Asrul Sani, sang kreator.

Kasus terakhir, sinetron "Para Pencari Tuhan" diluncurkan justru di tengah trend "tradisi" variety show di malam-malam bulan Ramadhan yang sudah berjalan bertahun-tahun. Langsung merebut pangsa pemirsa hampir 50 persen, sinetron ini pun bukan hasil pendiktean trend atau pemirsa.

So, masih layakkah kita untuk meyakini bahwa masyarakat (pemirsa) merupakan satu-satunya pihak yang melakukan pendiktean terhadap film dan sinetron kita? Ketika masyarakat berteriak "Kami hanya ingin menonton melodrama!", misalnya, itu bukan indikasi pendiktean. Itu, menurut saya, hanyalah sekedar permintaan pasar yang wajar terhadap hal-hal yang sedang disukai. Ketika pasar sedang gandrung DVD bajakan, apakah itu berarti kios sembako harus tutup dan merubah jualannya? Bintang jatuh selalu menjadi momen indah, tapi jangan lupakan matahari yang setiap hari menyinari kita. Sedangkan bintang jatuh tak pernah menjadi satu-satunya benda langit yang paling menakjubkan. Begitu pula halnya apa yang kita sebut "permintaan pasar".

Para kreatorlah yang melakukan pendiktean kebutuhan masyarakat. Pesawat radio, televisi, komputer, telepon, handphone, film cerita, koran, liga sepakbola dunia, mobil, satelit, pesawat terbang, dan seterusnya ... semuanya ditemukan dan didiktekan oleh para kreator. Masyarakat tinggal terima jadi dengan status "konsumen". Masyarakat bersedia menjadi konsumen produk-produk budaya manusia ketika merasakan manfaatnya. Minimal, merasakan kesenangannya. Tak peduli apakah itu produk baru atau lama. Kenal biskuit legendaris "Khong Guan"? Itu salah satu merek biskuit lawas banget dari jaman kakek-nenek kita masih kecil dan masih beredar sampai hari ini. Bahkan disain blek-nya berikut ilustrasi gambarnya sama sekali nggak dirubah, meskipun merek-merek baru bertebaran dengan kemasan yang lebih "in". "Khong Guan" sudah menciptakan fanatisme komunitas tersendiri dan turut "mendikte" konsumsi snack keluarga Indonesia selama beberapa generasi.

Menurut saya, masyarakat (dalam hal ini, pemirsa) cukup toleran menerima asupan apapun di layar lebar maupun layar kaca. Tuntutannya hanya satu: menarik, syukur-syukur baik.

Jadi, siapa sebetulnya yang bermasalah? Gagasan besar dan baik, bahkan penting, seringkali gagal menjadi kebutuhan masyarakat hanya karena masalah sepele: tampil tidak menarik. Untuk menjadi menarik, jelas, butuh kreativitas tinggi. I hope we have found the real problem now.
Baca selengkapnya...

21 October 2007

Sinetron "Para Pencari Tuhan" Behind the Scenario


Beberapa rekan penulis bertanya kepada saya, bagaimana dan dari mana saya bisa menuliskan adegan dan dialog-dialog yang, menurut mereka, kuat dan memorable dalam serial "Para Pencari Tuhan". Dengan bercanda saya jawab, "Ya harus bisa, dong. Saya kan penulis." Saya buru-buru minta maaf karena ternyata mereka serius dengan pertanyaan itu. Saya terpaksa mengingat-ingat kembali, bagaimana semuanya itu tertulis di dalam komputer saya. Sebagian besar saya sudah lupa prosesnya, tapi sebagian lagi saya masih ingat.


Untuk pemilihan tema dan topik, biasanya merupakan hasil diskusi dengan tim kreatif saya (Bang Diding Jacob, HAMBA, Kang Arief, Albert Hakim, Farrel M. Rizqy, Amiruddin Olland, dan Veronica Grensilia), sebagian lagi dari diskusi informal dengan istri, teman, supir taksi, atau kru sinetron, yang bukan bagian dari tim kreatif, sebagian lagi hasil diskusi dengan diri saya sendiri.

Misalnya, pada episode yang memunculkan tokoh Asrul untuk pertama kalinya. Tokoh ini cukup terpelajar tapi tidak trampil mencari uang hingga kesarjanaannya hanya menghasilkan ijazah, bukan uang. Untuk menggambarkan betapa miskinnya tokoh ini, ada beberapa pilihan: banyak hutang, menjadi peminta-minta, atau dilanda kelaparan yang amat sangat. Pilihan-pilihan tersebut menurut saya sangat klise dan tidak menyengat. Lalu, saya tanya, jika kalian jadi orang miskin yang jobless dan nggak punya apa-apa lagi, mau jual apa? Ada yang jawab, jual anak. Menarik, tapi terlalu kejam. Tim kreatif saya mulai capek dan kesal, lalu ada yang nyeletuk, "Jual genteng aja." Saya langsung pilih itu. Maka, jadilah tokoh Asrul yang sudah frustrasi itu menjual dua potong genteng rumahnya sendiri untuk makan keluarganya. Pada momen ini, saya menemukan bahwa tokoh Asrul adalah orang yang tidak kreatif dan cenderung bersikap ekstrim. Logis jika kemudian dia (pada beberapa episode berikutnya) makin ngawur dan menjual imannya demi uang beberapa ratus ribu rupiah saja. Saya melihat tokoh Asrul belum sampai pada titik didih tertingginya dalam menghadapi kemiskinannya. Maka, di episode Nuzulul Qur'an (eps 17), saya arahkan tokoh ini untuk menawari istrinya bercerai dan mencari suami yang lebih baik. Sang istri yang solekhah itu menjawab sambil mengangkat Qur'annya, "Kalau saya tidak berpegang pada kitab ini, sudah saya tinggalkan abang, anak-anak, dan rumah buruk ini."

Tokoh Asrul menjadi kian frustrasi dan menganggap Allah hanya ingin mempermainkan dan mempermalukannya saja hingga terlontarlah ucapan, "Apakah Tuhan telah hilang? Laa illah!" Selebihnya adalah permainan dialektika yang saya sandarkan pada jawaban-jawaban Al Qur'an untuk merespon "gugatan" Asrul kepada Allah, yang diwakili oleh tokoh Bang Jack. Ia antara lain menjawab, "Tuhan tidak pernah hilang. Kitalah yang terpejam. Mata hati kita yang terpejam." Sebuah paksaan untuk melakukan introspeksi.

Ada pula plot menarik yang dipicu oleh keisengan, yakni plot Hansip menemukan bayi. Kami sedang iseng berencana "menjebloskan" Udin sang Hansip ke dalam situasi serius. Berhubung dia hobi mencari peruntungan di jalanan dengan berharap menemukan uang jatuh, maka langsung saja terlontar sebuah ide: Udin menemukan bayi. Muncul pertanyaan, bayi itu kemudian mau kita apakan? Tak butuh waktu lama untuk berpikir ... pasangan Ustadz Ferry dan Haifa yang belum dikaruniai anak. Ini akan menawarkan plot tambahan yang menarik di episode-episode mendatang. Namun, momen penemuan bayi itu belum punya dialog yang bisa memperkuat atau memperlucu kesan yang ditimbulkan. Kami sudah punya adegannya, yaitu Hansip disidang oleh pengurus RW ihwal penemuan bayi itu. Alih-alih dipuji, sang Hansip malah seperti dipojokkan karena seharusnya dia tidak lewat jalan itu. Amir, anggota tim kreatif saya, punya jawaban lucu untuk sang Hansip, "Biasanya juga nggak nemu bayi!" Inilah dialog yang saya butuhan. Sederhana kalimatnya, tapi aneh pijakan berpikirnya. Hehehe ....

Tokoh Bonte merupakan ketidaksengajaan ketika "harus" diperpanjang episodenya. Awalnya saya hanya ingin menampilkannya satu episode saja untuk memberi efek tekanan emosional kepada tokoh Asrul dan Hansip dengan ledekannya "Cieee, ciee, cieee." Ternyata, banyak penonton yang menyukai tokoh Bonte. Ya sudahlah, kami perpanjang saja kemunculannya menjadi beberapa episode.

Salah satu plot yang menjadi favorit saya dalam serial "Para Pencari Tuhan" adalah percintaan tokoh Aya dan Azzam. Mereka adalah dua orang yang saling mencintai. Jika mereka berpacaran dengan penuh kasih sayang dan saling pengertian, maka saya akan sangat bosan menulisnya dan mungkin plot mereka hanya bertahan dua-tiga episode saja. Saya harus mendapatkan formula tertentu yang membuat hubungan mereka menjadi unik dan tidak membosankan, khususnya untuk saya sendiri. Apa yang bisa menyatukan mereka? Cinta? Semua orang berpikiran seperti itu dan tidak unik lagi. Hingga suatu saat, tak sengaja saya melihat foto Presiden Cuba, Fidel Castro, di sebuah majalah bekas. Castro adalah musuh bebuyutan para presiden Amerika, begitu pula sebaliknya. Kedua pihak senantiasa bertemu dalam konflik-konflik yang seakan tak berujung. Mereka dipertemukan, bersilaturakhim secara buruk, melalui kebencian, dari jaman ke jaman. Mereka saling serang, saling provokasi, saling benci, dan saling terobsesi. Tak penting lagi siapa yang akan muncul sebagai pemenang, tapi kisah Castro dan para presiden Amerika selalu menarik untuk dinikmati. Lalu, saya teringat pada PR saya tentang plot Aya dan Azzam.

Begitulah ... kedua tokoh dalam "Para Pencari Tuhan" ini tampil sebagai dua pecinta yang selalu bertemu untuk saling menyerang, saling menyakiti. Aya dan Azzam dipersatukan bukan oleh cinta, melainkan oleh kebutuhan untuk membenci. Mereka adalah dua pecinta yang berpacaran dengan cara yang aneh. Wawasan agama, kekuatan kepribadian, dan intelektual merekalah yang kemudian membuat hubungan itu menjadi "indah". Sesekali tokoh Aya harus menampar Azzam yang kurang ajar, itu hanyalah alternatif kontak fisik untuk menggantikan adegan berciuman, yang tidak mungkin saya tulis di dalam sinetron-sinetron saya. Level agama dan intelektual yang sama dari kedua tokoh ini membuat mereka seimbang dalam perang dialog. Suatu saat Azzam menang, di saat lain Aya di atas angin. Kalaupun Aya harus membuka rahasia kecil hatinya dengan menangis, dia harus menangis dengan sangat indah. Dia kalah dengan kecantikan yang bertambah. Dalam konsep kreatif saya, tokoh-tokoh pria boleh tunggang-langgang berkubang lumpur porak-poranda dan menjadi sangat jelek, tapi tokoh-tokoh perempuannya harus tetap indah meski terpuruk sama dalamnya.

Menjelang episode-episode terakhir, saya berpikir keras mencarikan cara bagi tokoh Azzam untuk melakukan "pukulan telak" kepada Aya, yang sulit sekali ditaklukkan. Kedua tokoh ini terlanjur kuat dan nyaris sulit saya kendalikan. Jika tokoh Aya dan Azzam tak bisa dikendalikan lagi, maka saya sebagai penulis skenarionya akan tampak sangat tolol. Lewat tengah malam saya pulang kantor dengan tubuh letih dan pikiran kusut. Plot Aya dan Azzam macet dan terancam hambar justru di episode terakhir. Saya tahu, hanya butuh satu dialog kuat untuk mengakhiri plot mereka dengan manis hingga Aya mau mengalah. Tapi, dialog itu sedang jual mahal. Makin dicari, makin ngumpet. Saya jengkel sendiri dan menyandarkan jidat ke kaca jendela taksi dan berpikir iseng. Selama beberapa episode, Aya sudah banyak menangis. "Kalo dikumpulin, mungkin dapet seember. Bisa buat mandi." Saya tersenyum sendiri oleh bersitan dialog itu. Ini lucu, tapi lebih tepat diucapkan oleh tokoh Udin (Hansip). Bukan Azzam. Azzam lebih elegan, lebih berpendidikan, lebih beragama. Jika melihat airmata sebanyak itu, tentunya dia tidak berpikir hanya tentang "mandi". Dia akan berpikir tentang hal lain yang lebih "berarti". Menyiram kembang? Memberi minum anjing kehausan? Berwudlu?

Saya tersentak dan buru-buru menyuruh sopir taksi menghentikan mobil. Dengan perasaan heboh, saya tulis di buku catatan saya dialog terakhir untuk Azzam , yang akan menunjukkan kepada Aya bahwa Azzam sudah melakukan semua yang bisa dilakukan untuk menebus kesalahannya. Tidak layak lagi jika Aya belum mau memaafkan dan melupakan. Maka, dialog itu adalah, "Apalagi yang bisa kulakukan untuk memuaskanmu? Jika syariat membolehkan, akan kupakai airmatamu untuk berwudlu."

Malam itu saya bisa tidur nyenyak dan keesokan harinya selesailah skenario "Para Pencari Tuhan" episode terakhir. Ternyata, belum benar-benar berakhir. Tokoh Bang Jack jadi masalah. Bagaimanapun, Bang Jack adalah tokoh utama. Dialah yang harus mengakhiri serial ini dan saya sudah memutuskan untuk menghindari "a total happy end". Pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan, cerita harus dikembalikan kepada plot utama: Bang Jack dan ketiga muridnya yang mantan narapidana itu: Chelsea, Barong, dan Juki. Maka, Chelsea dijemput oleh utusan mantan istrinya untuk datang dan mendengarkan sebuah keputusan penting. Barong dikabari oleh Linda tentang abangnya yang ditembak polisi. Ia harus pergi menjenguknya ke rumah sakit. Hanya Juki yang berakhir lebih menyenangkan. Dia dipanggil pulang oleh emaknya yang sudah bisa menerimanya. Kepergian ketiga orang ini, bagi Bang Jack, menimbulkan rasa gamang. Ketidakpastian. Akankah mereka kembali setelah menemukan hal yang lebih "berarti" di luar sana? Mana pula seharian tadi mereka ngambek karena Bang Jack, yang sudah dianggap sebagai aba, tak bisa menyediakan hidangan khas lebaran seperti di keluarga normal. Bang Jack tertinggal seorang diri di mushola kecilnya, menata makanan yang sudah seharian tadi diimpikan dan diributkan oleh ketiga muridnya. Lalu lelaki tua itu melangkah ke teras memandang langit malam dan bergumam, "Anak-anak gue pulang nggak, ya?" Deddy Mizwar menambahkan alunan takbir dan membuat ending itu terasa meresap dan syahdu.

It's a wrap! Alhamdulillah ....

Seminggu telah berlalu dari episode terakhir, saya harus mulai menulis sekuel "Para Pencari Tuhan 2". Deg-degan sih, tapi dengan "bismillah" saya harap bisa menyelesaikannya dengan baik. Insya Allah.
Baca selengkapnya...