21 October 2007

Sinetron "Para Pencari Tuhan" Behind the Scenario


Beberapa rekan penulis bertanya kepada saya, bagaimana dan dari mana saya bisa menuliskan adegan dan dialog-dialog yang, menurut mereka, kuat dan memorable dalam serial "Para Pencari Tuhan". Dengan bercanda saya jawab, "Ya harus bisa, dong. Saya kan penulis." Saya buru-buru minta maaf karena ternyata mereka serius dengan pertanyaan itu. Saya terpaksa mengingat-ingat kembali, bagaimana semuanya itu tertulis di dalam komputer saya. Sebagian besar saya sudah lupa prosesnya, tapi sebagian lagi saya masih ingat.


Untuk pemilihan tema dan topik, biasanya merupakan hasil diskusi dengan tim kreatif saya (Bang Diding Jacob, HAMBA, Kang Arief, Albert Hakim, Farrel M. Rizqy, Amiruddin Olland, dan Veronica Grensilia), sebagian lagi dari diskusi informal dengan istri, teman, supir taksi, atau kru sinetron, yang bukan bagian dari tim kreatif, sebagian lagi hasil diskusi dengan diri saya sendiri.

Misalnya, pada episode yang memunculkan tokoh Asrul untuk pertama kalinya. Tokoh ini cukup terpelajar tapi tidak trampil mencari uang hingga kesarjanaannya hanya menghasilkan ijazah, bukan uang. Untuk menggambarkan betapa miskinnya tokoh ini, ada beberapa pilihan: banyak hutang, menjadi peminta-minta, atau dilanda kelaparan yang amat sangat. Pilihan-pilihan tersebut menurut saya sangat klise dan tidak menyengat. Lalu, saya tanya, jika kalian jadi orang miskin yang jobless dan nggak punya apa-apa lagi, mau jual apa? Ada yang jawab, jual anak. Menarik, tapi terlalu kejam. Tim kreatif saya mulai capek dan kesal, lalu ada yang nyeletuk, "Jual genteng aja." Saya langsung pilih itu. Maka, jadilah tokoh Asrul yang sudah frustrasi itu menjual dua potong genteng rumahnya sendiri untuk makan keluarganya. Pada momen ini, saya menemukan bahwa tokoh Asrul adalah orang yang tidak kreatif dan cenderung bersikap ekstrim. Logis jika kemudian dia (pada beberapa episode berikutnya) makin ngawur dan menjual imannya demi uang beberapa ratus ribu rupiah saja. Saya melihat tokoh Asrul belum sampai pada titik didih tertingginya dalam menghadapi kemiskinannya. Maka, di episode Nuzulul Qur'an (eps 17), saya arahkan tokoh ini untuk menawari istrinya bercerai dan mencari suami yang lebih baik. Sang istri yang solekhah itu menjawab sambil mengangkat Qur'annya, "Kalau saya tidak berpegang pada kitab ini, sudah saya tinggalkan abang, anak-anak, dan rumah buruk ini."

Tokoh Asrul menjadi kian frustrasi dan menganggap Allah hanya ingin mempermainkan dan mempermalukannya saja hingga terlontarlah ucapan, "Apakah Tuhan telah hilang? Laa illah!" Selebihnya adalah permainan dialektika yang saya sandarkan pada jawaban-jawaban Al Qur'an untuk merespon "gugatan" Asrul kepada Allah, yang diwakili oleh tokoh Bang Jack. Ia antara lain menjawab, "Tuhan tidak pernah hilang. Kitalah yang terpejam. Mata hati kita yang terpejam." Sebuah paksaan untuk melakukan introspeksi.

Ada pula plot menarik yang dipicu oleh keisengan, yakni plot Hansip menemukan bayi. Kami sedang iseng berencana "menjebloskan" Udin sang Hansip ke dalam situasi serius. Berhubung dia hobi mencari peruntungan di jalanan dengan berharap menemukan uang jatuh, maka langsung saja terlontar sebuah ide: Udin menemukan bayi. Muncul pertanyaan, bayi itu kemudian mau kita apakan? Tak butuh waktu lama untuk berpikir ... pasangan Ustadz Ferry dan Haifa yang belum dikaruniai anak. Ini akan menawarkan plot tambahan yang menarik di episode-episode mendatang. Namun, momen penemuan bayi itu belum punya dialog yang bisa memperkuat atau memperlucu kesan yang ditimbulkan. Kami sudah punya adegannya, yaitu Hansip disidang oleh pengurus RW ihwal penemuan bayi itu. Alih-alih dipuji, sang Hansip malah seperti dipojokkan karena seharusnya dia tidak lewat jalan itu. Amir, anggota tim kreatif saya, punya jawaban lucu untuk sang Hansip, "Biasanya juga nggak nemu bayi!" Inilah dialog yang saya butuhan. Sederhana kalimatnya, tapi aneh pijakan berpikirnya. Hehehe ....

Tokoh Bonte merupakan ketidaksengajaan ketika "harus" diperpanjang episodenya. Awalnya saya hanya ingin menampilkannya satu episode saja untuk memberi efek tekanan emosional kepada tokoh Asrul dan Hansip dengan ledekannya "Cieee, ciee, cieee." Ternyata, banyak penonton yang menyukai tokoh Bonte. Ya sudahlah, kami perpanjang saja kemunculannya menjadi beberapa episode.

Salah satu plot yang menjadi favorit saya dalam serial "Para Pencari Tuhan" adalah percintaan tokoh Aya dan Azzam. Mereka adalah dua orang yang saling mencintai. Jika mereka berpacaran dengan penuh kasih sayang dan saling pengertian, maka saya akan sangat bosan menulisnya dan mungkin plot mereka hanya bertahan dua-tiga episode saja. Saya harus mendapatkan formula tertentu yang membuat hubungan mereka menjadi unik dan tidak membosankan, khususnya untuk saya sendiri. Apa yang bisa menyatukan mereka? Cinta? Semua orang berpikiran seperti itu dan tidak unik lagi. Hingga suatu saat, tak sengaja saya melihat foto Presiden Cuba, Fidel Castro, di sebuah majalah bekas. Castro adalah musuh bebuyutan para presiden Amerika, begitu pula sebaliknya. Kedua pihak senantiasa bertemu dalam konflik-konflik yang seakan tak berujung. Mereka dipertemukan, bersilaturakhim secara buruk, melalui kebencian, dari jaman ke jaman. Mereka saling serang, saling provokasi, saling benci, dan saling terobsesi. Tak penting lagi siapa yang akan muncul sebagai pemenang, tapi kisah Castro dan para presiden Amerika selalu menarik untuk dinikmati. Lalu, saya teringat pada PR saya tentang plot Aya dan Azzam.

Begitulah ... kedua tokoh dalam "Para Pencari Tuhan" ini tampil sebagai dua pecinta yang selalu bertemu untuk saling menyerang, saling menyakiti. Aya dan Azzam dipersatukan bukan oleh cinta, melainkan oleh kebutuhan untuk membenci. Mereka adalah dua pecinta yang berpacaran dengan cara yang aneh. Wawasan agama, kekuatan kepribadian, dan intelektual merekalah yang kemudian membuat hubungan itu menjadi "indah". Sesekali tokoh Aya harus menampar Azzam yang kurang ajar, itu hanyalah alternatif kontak fisik untuk menggantikan adegan berciuman, yang tidak mungkin saya tulis di dalam sinetron-sinetron saya. Level agama dan intelektual yang sama dari kedua tokoh ini membuat mereka seimbang dalam perang dialog. Suatu saat Azzam menang, di saat lain Aya di atas angin. Kalaupun Aya harus membuka rahasia kecil hatinya dengan menangis, dia harus menangis dengan sangat indah. Dia kalah dengan kecantikan yang bertambah. Dalam konsep kreatif saya, tokoh-tokoh pria boleh tunggang-langgang berkubang lumpur porak-poranda dan menjadi sangat jelek, tapi tokoh-tokoh perempuannya harus tetap indah meski terpuruk sama dalamnya.

Menjelang episode-episode terakhir, saya berpikir keras mencarikan cara bagi tokoh Azzam untuk melakukan "pukulan telak" kepada Aya, yang sulit sekali ditaklukkan. Kedua tokoh ini terlanjur kuat dan nyaris sulit saya kendalikan. Jika tokoh Aya dan Azzam tak bisa dikendalikan lagi, maka saya sebagai penulis skenarionya akan tampak sangat tolol. Lewat tengah malam saya pulang kantor dengan tubuh letih dan pikiran kusut. Plot Aya dan Azzam macet dan terancam hambar justru di episode terakhir. Saya tahu, hanya butuh satu dialog kuat untuk mengakhiri plot mereka dengan manis hingga Aya mau mengalah. Tapi, dialog itu sedang jual mahal. Makin dicari, makin ngumpet. Saya jengkel sendiri dan menyandarkan jidat ke kaca jendela taksi dan berpikir iseng. Selama beberapa episode, Aya sudah banyak menangis. "Kalo dikumpulin, mungkin dapet seember. Bisa buat mandi." Saya tersenyum sendiri oleh bersitan dialog itu. Ini lucu, tapi lebih tepat diucapkan oleh tokoh Udin (Hansip). Bukan Azzam. Azzam lebih elegan, lebih berpendidikan, lebih beragama. Jika melihat airmata sebanyak itu, tentunya dia tidak berpikir hanya tentang "mandi". Dia akan berpikir tentang hal lain yang lebih "berarti". Menyiram kembang? Memberi minum anjing kehausan? Berwudlu?

Saya tersentak dan buru-buru menyuruh sopir taksi menghentikan mobil. Dengan perasaan heboh, saya tulis di buku catatan saya dialog terakhir untuk Azzam , yang akan menunjukkan kepada Aya bahwa Azzam sudah melakukan semua yang bisa dilakukan untuk menebus kesalahannya. Tidak layak lagi jika Aya belum mau memaafkan dan melupakan. Maka, dialog itu adalah, "Apalagi yang bisa kulakukan untuk memuaskanmu? Jika syariat membolehkan, akan kupakai airmatamu untuk berwudlu."

Malam itu saya bisa tidur nyenyak dan keesokan harinya selesailah skenario "Para Pencari Tuhan" episode terakhir. Ternyata, belum benar-benar berakhir. Tokoh Bang Jack jadi masalah. Bagaimanapun, Bang Jack adalah tokoh utama. Dialah yang harus mengakhiri serial ini dan saya sudah memutuskan untuk menghindari "a total happy end". Pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan, cerita harus dikembalikan kepada plot utama: Bang Jack dan ketiga muridnya yang mantan narapidana itu: Chelsea, Barong, dan Juki. Maka, Chelsea dijemput oleh utusan mantan istrinya untuk datang dan mendengarkan sebuah keputusan penting. Barong dikabari oleh Linda tentang abangnya yang ditembak polisi. Ia harus pergi menjenguknya ke rumah sakit. Hanya Juki yang berakhir lebih menyenangkan. Dia dipanggil pulang oleh emaknya yang sudah bisa menerimanya. Kepergian ketiga orang ini, bagi Bang Jack, menimbulkan rasa gamang. Ketidakpastian. Akankah mereka kembali setelah menemukan hal yang lebih "berarti" di luar sana? Mana pula seharian tadi mereka ngambek karena Bang Jack, yang sudah dianggap sebagai aba, tak bisa menyediakan hidangan khas lebaran seperti di keluarga normal. Bang Jack tertinggal seorang diri di mushola kecilnya, menata makanan yang sudah seharian tadi diimpikan dan diributkan oleh ketiga muridnya. Lalu lelaki tua itu melangkah ke teras memandang langit malam dan bergumam, "Anak-anak gue pulang nggak, ya?" Deddy Mizwar menambahkan alunan takbir dan membuat ending itu terasa meresap dan syahdu.

It's a wrap! Alhamdulillah ....

Seminggu telah berlalu dari episode terakhir, saya harus mulai menulis sekuel "Para Pencari Tuhan 2". Deg-degan sih, tapi dengan "bismillah" saya harap bisa menyelesaikannya dengan baik. Insya Allah.
Baca selengkapnya...