09 December 2007

Flash Fiction: "SANG PRESIDEN"

"Maaf, Pak Presiden, saya tidak butuh mereka disini."

Sopan tapi tegas, cukup untuk membuat sang Presiden menyuruh para pengawalnya keluar. Ada sebuah kepribadian kuat yang tak bisa ditentang dari orang itu. Semacam wibawa dan kharisma aneh, yang membuat semua orang tertunduk patuh. Seandainya saja aku punya kharisma seperti itu, mungkin akan lebih mudah memerintah negeri ini, pikir sang Presiden. Ia benci situasi ini. Ia benci berada dalam posisi terpojok dan harus meminta bantuan. Tidak selayaknya seorang kepala negara membiarkan dirinya lemah tanpa perlindungan.

Oleh Wahyu HS



"Kalau bapak menuruti nasehat saya, bencana ini masih bisa dicegah."

"Saya memang bersalah," jawab sang Presiden dengan suara lirih. Ia sendiri tak percaya akan bisa mengucapkan kalimat pecundang seperti itu. Ia menghela napas tertahan dan menyandar lesu di kursinya. Tenaganya seakan menguap oleh sorot mata berwibawa orang itu yang penuh tuduhan. Serangkaian tuduhan yang tak dapat disangkal karena semua bukti telah terpampang dengan jelas di depan mata. Ia tak bisa membantah dan itulah yang membuat posisinya menjadi lemah seperti sekarang. Seandainya saja ia bisa memutar balik waktu dan memperbaiki semuanya. Tentu saja, itu tidak mungkin. Sudah terlambat. Waktu hanya berputar ke depan, membiarkan kesalahan menjadi penyesalan.

"Kesalahan bapak kali ini berakibat fatal. Bahkan jika seluruh menteri kabinet mau berkorban, tak pernah cukup untuk menutupi ini."

"Ooohh ...." keluh sang Presiden. "Jadi ... harus bagaimana?"

Orang itu menghela napas berat, memandang presidennya dengan prihatin sambil mengarahkan lampu ke mulut sang presiden yang terbuka.

"Gigi bapak harus dicabut. Tidak bisa ditambal lagi." [Fin]


2 comments:

Amiruddin said...

waw! heavy story but very funny

Wahyu HS said...

:)) hehehe ... thanx.