25 December 2007

Konsistensi Karakter

photo by wahyu hs


Cerita bagus saja belum cukup tanpa tokoh-tokoh yang kuat. Merekalah yang akan menghidupkan plot cerita, memercikkan momen-momen berharga dalam setiap adegan, menjadi representasi pembaca/penonton, menjadikan cerita lebih "bernyawa". Tokoh-tokoh yang ditampilkan secara baik akan membuat cerita paling mustahil sekalipun menjadi masuk akal.



Tokoh cerita yang baik haruslah konsisten. Ini semua ada dalam konsep. Jika sang tokoh adalah seorang berkepribadian labil, maka tidak realistis jika ia tampil sebagai tokoh yang memiliki kemauan kuat dan fokus pada tujuan hidupnya. Hal ini akan tercermin pada sikap dan dialognya. Cinderella yang lembut, penurut, dan sensitif, menjadi sangat realistis ketika tidak bisa keluar dari tekanan ibu dan saudara-saudara tirinya. Ia tidak memiliki kekuatan seorang pemberontak. Ia harus diselamatkan oleh seorang pangeran. Bayangkan kalau tiba-tiba Cinderella melawan semua tekanan itu dengan sangat heroik bak seorang Wonder Woman dengan kata-kata pedas. Karakternya akan "rusak" dan malah jadi aneh. Atau, tokoh Abu Nawas yang mendadak mati akal dan kehabisan kata-kata. Kita akan kecewa karena Abu Nawas tidak tampil sebagaimana seharusnya. Dalam kehidupan nyata, memang, tokoh-tokoh seperti Abu Nawas tidak selalu tampil brilian. Namun, dalam kehidupan fiksi, yang notabene merupakan rekayasa sistematis seorang pengarang, tokoh cerita harus konsisten sesuai konsep agar mewakili tipikal tertentu secara utuh dalam sebuah plot cerita. Dengan demikian, cerita akan mengalir ke arah yang benar dengan cara yang baik berkat bantuan tokoh-tokohnya.

Penulis haruslah menjadi orang yang paling mengenal tokoh-tokohnya sendiri seolah mereka adalah anak-anaknya. Penulis harus faham cara berpikir sang tokoh, gaya bicaranya, sikap hidupnya, cita-citanya, kegemarannya, kelebihan dan kekurangannya. Jika ini sudah dikuasai, maka yang tampil bukan lagi karakter si penulis, melainkan karakter si tokoh itu sendiri. Tokoh dalam ceritamu akan menjadi "hidup" dan masuk akal.

Buatlah semacam curriculum vitae bagi tokoh-tokoh dalam cerita meskipun tidak semua item itu akan ditampilkan. Rancanglah (baik tertulis maupun dalam bayangan kamu) mulai dari jenis kelamin, umur, zodiak, pendidikan terakhir, level pergaulan, minat, gaya bicara, pandangan hidupnya, selera seksualnya, dan seterusnya sesuai kebutuhan. Kita bisa mengambil model dari manusia-manusia "nyata" di sekitar kita untuk kemudian dikembangkan atau dimampatkan sesuai kebutuhan. Setelah itu, kenali dan hayati tokoh tersebut secara sungguh-sungguh sehingga kamu bisa menampilkannya dengan realistis. Konsisten.

Contoh kasus: "Suatu saat dalam sebuah perdebatan filsafat, Abu Nawas kehabisan amunisi untuk membalas perkataan seseorang". Bagaimana menggambarkan kekalahan Abu Nawas, yang biasanya mahir berkelit dan berkilah? Apakah dia harus terdiam dengan wajah merah kemudian ngucluk pergi? Jelas, ini bukan karakter seorang Abu Nawas. Karena kemahiran Abu Nawas adalah berkata-kata, maka tokoh ini harus diberi dialog untuk mengiringi kekalahannya. Ada beberapa pilihan. Dia akan berkata dengan serius, "Hanya Allah yang tak terkalahkan, sedangkan aku manusia biasa." Kilah yang sangat baik, tapi tidak lucu. Padahal, Abu Nawas sudah "ditakdirkan" selalu lucu dalam situasi apapun. Beri dia dialog, misalnya, "Saya kurang mengerti maksud Anda. Coba katakan sekali lagi tapi dalam bahasa isyarat." Jelas, ini permintaan yang tidak masuk akal, tapi cukup untuk mempertahankan konsistensi karakter tokoh cerita kita.

Rancang dan garaplah tokoh ceritamu sebaik mungkin. Tokoh-tokoh dengan karakter yang konsisten akan menambah bobot kredibilitas sebuah cerita, sekaligus kredibilitas kamu sebagai seorang kreator. (***)

12 comments:

Ratih Soe said...

Wah, artikel ini betul2 membuka mata saya. Terima kasih banyak.

TARY said...

artikelnya keren mas, banyak berguna bagi penulis fiksi seperti saya, hehehhe.

salam,
-tary

Anonymous said...

mas, gara-gara nggak ngerti karakter, aku sampai bolak-balik revisi sinopsis...

Anonymous said...

Bonekanya Lutchu..............
beli di mana?

Anonymous said...

Itu boneka inventaris kantor ;)

~tidur~

Anonymous said...

artikelnya membuka pikiran dan menggugah hati. fotonya membuka mata dan menggugah inspirasi. thanks.

oland

Anonymous said...

another mas wahyu's gud artikel!

Anonymous said...

hmm...berarti harus banyak memperhatikan character orang di sekeliling kita dong ya?!. Selain itu pula kita harus lebih peka dengan cara pandang dan berpikir orang-orang disekeliling kita tersebut sehingga dapat dijadikan referensi untuk membuat tokoh jadi semakin nyata.
Baru-baru ini, aku nonton sebuah serial yang plotnya tuh biasa banget,tapi karena perkembangan character setiap tokohnya kuat banget alhasil cerita tersebut jadi lebih bernyawa dan ngebuat aku sindrom. Hehehe... (Lia IRIS)

okiaryono said...

Barakallah.Salut buat Bang Wahyu HS.Karya2 Anda bagaikan oase di gurun hedonisme & materialisme sinetron Indonesia.Rakyat Indonesia & umat Islam bersyukur dg kiprah2 Anda & Bang Deddy Mizwar.Kami muak dg sinetron2 'sampah' saat ini.Selamat berkarya.Innallaha ma'ana.

Anonymous said...

Wah, terima kasih banyak atas sharing ilmunya, Mas :D

lisya said...

Mas, aku setuju banget nih, tulisan ini. Dan aku liat karya2 Mas Wahyu memang memiliki karakter yang kuat. Dari karakter akan turun pada dialog dan ciri fisik lain (cara berjalan, tertawa, bosan, dll). Sayangnya mas, tidak semua PH paham tentang ini. Ketika kita menyorokan bule print karakter, malah gak dibaca. Mudah-mudahan semakin banyak produser yang mirip Pak Haji Deddy yah...:)

permana said...

Kangen mas wahyu, ih....