16 November 2007

The Magic of "What If"

photo by wahyu hs

Mulailah bertanya dengan "what if", "bagaimana jika", maka semua hal akan berkembang nyaris tak terkendali. Inilah salah satu trick populer yang dipakai para penulis untuk mengembangkan sebuah gagasan.

Gagasan dasarnya adalah (misalnya): "Lukisan asli Monalisa hilang secara misterius. Semua pihak melakukan pelacakan habis-habisan." Lalu apa? Semua orang saling sadap informasi, terjadi perburuan ke seluruh penjuru dunia, mungkin diselingi dengan kemunculan Monalisa palsu disana-sini, dan seterusnya hingga tokoh utama berhasil menemukannya? Penulis yang kritis tidak akan puas begitu saja. Itu plot yang sangat gampang dan mudah ditebak. Tidak menantang, kemudian ia merasa kena "macet", dan keyboard pun dibanting karena kesal.


Coba pertanyakan ide itu dengan "bagaimana jika", maka jutaan pintu kemungkinan akan terbuka, tergantung seberapa kuat imajinasi kita bekerja.

"Bagaimana jika lukisan seharga milyaran rupiah yang hilang itu teronggok begitu saja di dinding rumah seorang pemulung, yang sama sekali tidak tahu nilai sebuah lukisan masterpiece? Ia menemukannya di jalan dan membawanya pulang hanya karena menganggapnya sebagai wanita cantik yang pantas dipajang. Maka, sang pemulung hanya bisa terheran-heran, mengapa mendadak banyak orang-orang tak dikenal berseliweran atau bertandang ke gubuknya, bahkan ada yang masuk diam-diam. Kemudian, bagaimana jika sang pemulung akhirnya menyadari nilai lukisan itu? Maka, sekali dalam seumur hidupnya ia harus berurusan dengan uang bernilai milyaran rupiah sekaligus dengan nyawa terancam. Ia merasa kedamaian hidupnya hilang. Bagaimana jika ia nekat dan membakar masterpiece itu supaya tidak ada lagi orang yang datang mengganggu? Bukankah seluruh dunia akan menangis? Sang pemulung akan menjadi orang yang paling dikutuk. Bagaimana jika ia tidak kuat menahan beban batin itu? Apakah ia akan bunuh diri? Seorang pemulung Bantar Gebang membunuh dirinya sendiri karena Monalisa. Dan seterusnya ... sampai semua kemungkinan memenuhi benak kita."

Coba lagi dengan gagasan yang lain: "kehidupan Cinderella dan Sang Pangeran pasca perkawinan."

"Bagaimana jika ternyata Cinderella mandul? Sang Pangeran yang telah menjadi raja itu kemudian berniat menikah lagi demi mendapatkan keturunan untuk meneruskan tahta kerajaan. Sebagai permaisuri, Cinderella mungkin tak kuasa menentang poligami, yang sudah lazim dilakukan oleh para raja. Bagaimana jika Cinderella bersedia dimadu dengan syarat, calon selir itu harus didapatkan seperti Sang Pangeran dulu mendapatkan dirinya? Calon selirnya haruslah perempuan yang ukuran kakinya sama dengan Cinderella. Cinderella yakin, tidak ada yang menyamai ukuran kakinya, karena memang kakinya sebetulnya agak cacat sedikit. Sang Pangeran tidak keberatan. Ia pun mengadakan pesta yang dihadiri perempuan-perempuan tercantik negerinya. Lalu, ia menyuruh mereka mencoba sepatu Cinderella. Dari sekian puluh perempuan, ternyata hanya satu orang yang ukuran kakinya cocok dengan Cinderella. Sang Pangeran langsung menunjuknya menjadi calon selir di hadapan khalayak. Lalu, bagaimana jika perempuan cantik itu ternyata seorang banci?"

That's the magic of "what if".

5 comments:

Anonymous said...

Pantas dan harus dicoba ... syukron.

Salam ukhuwah selalu
http://nafiisahfb.multiply.com
(ps: salam kenal buat Nyonya Wahyu, ya :))

Wahyu HS said...

go nafiis go!
salam kenal juga dari istriku :)

TARY said...

mas wahyu, salam kenal lagi...:)
blognya saya link ke blogku ya...

salam,
Tary
http://lestari.blogspot.com

Wahyu HS said...

ya, terima kasih. aku juga berencana bikin link khusus blognya temen-temen, tapi di blogku ini (mungkin versi lama) nggak ada fitur "add page element". gimana caranya, ya? (masih mikir ....)

azti said...

mantapp :) lucu.. seruu.. :) saya mau coba mas ^_~