10 November 2007

Televisi vs Pemirsa; Siapa yang Mendikte?

photo by wahyu hs

Acara heboh "Empat Mata" tidak berawal dari permintaan penonton televisi. Tahu-tahu acara itu dirilis oleh produsernya dan Tukul melejit dengan mantra populernya: "kembali ke laptop". Program ini menjadi talk show paling favorit selama beberapa bulan dengan pemasukan iklan yang luar biasa. Sebelum "Empat Mata", siapa yang peduli dengan Tukul? Berani sekali produser memasang pelawak yang seakan tak kunjung melejit karirnya. Acara ini muncul di tengah hebohnya era sinetron-sinetron remaja.

Beberapa tahun sebelumnya, sinetron sejenis "Rahasia Ilahi", "Hidayah", dan sebagainya, merajai beberapa stasiun televisi kita sebagai program unggulan. Apakah sinetron-sinetron tersebut merupakan hasil diskusi atau pendiktean dari pemirsa? Setahu saya bukan. Itu inisiatif produser dan tim kreatifnya.


Acara-acara berita selama ini cenderung monoton; baik di TVRI maupun swasta. Kemudian, muncul program berita khusus bertopik berita-berita kriminal. Maka (saya lupa siapa yang memulai) muncullah siaran berita "Patroli", "Buser", dan sejenisnya. Ini menjadi tontonan menarik dan sangat disukai pemirsa. Kurang-lebih berbarengan dengan trend itu, muncul trend yang lain. Infotainment. Dan para penggagas program-program tersebut, setahu saya, nggak pernah diusuli oleh penonton kecuali oleh dirinya sendiri. Apalagi didikte.

Lalu, di era sinetron penuh siksa, azab, dan ABG pacaran, muncullah serial "Kiamat Sudah Dekat" yang tampil di luar tema biasanya. Sempat meraih rating tertinggi dengan pemasukan iklan spektakuler (kurang-lebih 3o spot per commercial break), bahkan jadi tontonan Presiden, sinetron ini memaksa penonton menoleh ke arahnya sampai tiga musim.

Masih ingat ledakan monumental film "Ada Apa dengan Cinta?" dan "Sherina"? Setahu saya, film-film itu diproduksi bukan karena adanya sejuta tanda tangan masyarakat or whatever.

Film "Nagabonar Jadi 2". Bahkan tak ada yang pernah membayangkan akan muncul sekuelnya, apalagi setelah meninggalnya Asrul Sani, sang kreator.

Kasus terakhir, sinetron "Para Pencari Tuhan" diluncurkan justru di tengah trend "tradisi" variety show di malam-malam bulan Ramadhan yang sudah berjalan bertahun-tahun. Langsung merebut pangsa pemirsa hampir 50 persen, sinetron ini pun bukan hasil pendiktean trend atau pemirsa.

So, masih layakkah kita untuk meyakini bahwa masyarakat (pemirsa) merupakan satu-satunya pihak yang melakukan pendiktean terhadap film dan sinetron kita? Ketika masyarakat berteriak "Kami hanya ingin menonton melodrama!", misalnya, itu bukan indikasi pendiktean. Itu, menurut saya, hanyalah sekedar permintaan pasar yang wajar terhadap hal-hal yang sedang disukai. Ketika pasar sedang gandrung DVD bajakan, apakah itu berarti kios sembako harus tutup dan merubah jualannya? Bintang jatuh selalu menjadi momen indah, tapi jangan lupakan matahari yang setiap hari menyinari kita. Sedangkan bintang jatuh tak pernah menjadi satu-satunya benda langit yang paling menakjubkan. Begitu pula halnya apa yang kita sebut "permintaan pasar".

Para kreatorlah yang melakukan pendiktean kebutuhan masyarakat. Pesawat radio, televisi, komputer, telepon, handphone, film cerita, koran, liga sepakbola dunia, mobil, satelit, pesawat terbang, dan seterusnya ... semuanya ditemukan dan didiktekan oleh para kreator. Masyarakat tinggal terima jadi dengan status "konsumen". Masyarakat bersedia menjadi konsumen produk-produk budaya manusia ketika merasakan manfaatnya. Minimal, merasakan kesenangannya. Tak peduli apakah itu produk baru atau lama. Kenal biskuit legendaris "Khong Guan"? Itu salah satu merek biskuit lawas banget dari jaman kakek-nenek kita masih kecil dan masih beredar sampai hari ini. Bahkan disain blek-nya berikut ilustrasi gambarnya sama sekali nggak dirubah, meskipun merek-merek baru bertebaran dengan kemasan yang lebih "in". "Khong Guan" sudah menciptakan fanatisme komunitas tersendiri dan turut "mendikte" konsumsi snack keluarga Indonesia selama beberapa generasi.

Menurut saya, masyarakat (dalam hal ini, pemirsa) cukup toleran menerima asupan apapun di layar lebar maupun layar kaca. Tuntutannya hanya satu: menarik, syukur-syukur baik.

Jadi, siapa sebetulnya yang bermasalah? Gagasan besar dan baik, bahkan penting, seringkali gagal menjadi kebutuhan masyarakat hanya karena masalah sepele: tampil tidak menarik. Untuk menjadi menarik, jelas, butuh kreativitas tinggi. I hope we have found the real problem now.

7 comments:

Anonymous said...

Setuju banget. Tapi, gimana ya bikin yang lain juga punya keyakinan yang sama bahwa saatnya buat tren, bukan membebek pada tren?

Wahyu HS said...

Harus berani mencoba. Kalo perlu "berkorban" jadi pionir.

Anonymous said...

Busyet, nih orang kalo nulis kagak bisa kayak skenarionya yang sekedar mengajak menyelami kehidupan dan mentertawakan diri sendiri. Blognya dibuat dengan bahasa yang lain. Ketinggian bro, dan bikin yang mbaca jadi berpikir. Relaks aja atuh. Jangan pake bahasa kesultanan lah.

Wahyu HS said...

hehehe ... mood-nya lagi begitu, coy. mungkin ini yang disebut "life begins at forty". halaah ....

Isman H. Suryaman said...

Setuju, Mas Wahyu. Dan saya rasa ini tidak berlaku untuk penulis saja. Melainkan bagi produser juga--yang sering berlindung di balik rating sebagai justifikasi.

Padahal seperti saya tulis di buku Bertanya atau Mati (http://bertanyaataumati.blogspot.com/2007/01/rating-tak-berdaun.html), ini bukan sekadar masalah diskusi ayam-telur. Melainkan jerat. Semakin kita enggan mempertanyakan dan menentang status quo, semakin kita akan terjerat dalam The Ratings Game.

Wahyu HS said...

Persis! Jangan pernah takut pada rating. Buat saja sebagus mungkin, rating urusan belakangan.

By the way, aku kirim email tuh ke yahoo Anda. Thanx dah mampir.

Dadang said...

Ass.Wr.Wb,
Bang Wahyu HS,sebelumnya saya mohon maaf, apabila tulisan saya ini lancang, saya punya saran, bagaimana seandainya ketiga anak asuh Bang jack, kembali lagi kepadanya, mereka berusaha untuk mengembangkan Usaha Tanaman Hiasnya,
Caranya :
Kontrak kerja dengan Perusahhan
Swasta. BUMN/BUMD, ATAU Instansi
Pemerintah.
Dengan Sistim Sewa Menyewa Tanaman.
dengan Waktu kontrak : 6 Bulan atau 1 Tahun dan bisa diperpanjang lagi.
Tanaman yang disewakan, setiap satu minggu sekali diganti dengan tanaman yang sehat dan segar, yang lama diambil lagi untuk dirawat oleh Sun Flowers milik Bang Jack dkk. Continue sampai masa kontraknya.
Saya sangat senang sekali apabila Bang Wahyu, Dan keluarga besar PPT dapat menerima saran picisan saya ini.
Semoga Sukses dan jaya terus PPT.
Wassalam, Dadang Simeut.