24 November 2007

Waktu Hujan Sore-sore

photo by wahyu hs

Sore itu aku lagi nggak butuh musik. Cukup aku, secangkir kopi hangat, kursi tua, balkon, rasa malas, dan mendung sore hari. Kami secara kompak telah membentuk komposisi musikal terindah, yang tak dapat dilakukan komposer manapun. Mereka bisa menciptakan ratusan lagu sepanjang hidupnya, tapi tak ada yang mampu menciptakan satu detik momen pun untuk kita kecuali diri kita sendiri. Sore ini aku nggak butuh mereka. Gerimis sudah cukup membuatku bernyanyi dalam lamunan panjang bersama istighfar lirih.


Hujan mulai turun. Curahnya membentuk tirai bening di depan balkon, seolah hendak menghalangiku dari gelap yang dingin di luar sana. Untuk apa? Bukankah gelap itu telah menjadi batas dengan sendirinya? Ataukah telah menyatu dalam darahku hingga tak lagi bermakna? Ini permainan hidup yang berbahaya. Detik demi detik berlalu menghanyutkan semua momen. Pagi kita beriman, sore kafir, lalu tengah malam tergagap mencari cahaya. Ada yang tak kusukai disini. Mengapa hanya cahaya yang bisa menyelamatkan kita dalam gelap? Mengapa tak ada alternatif lain? Siapa yang mengatur dan membatasi semua ini?

Apa yang dipikirkan Adam dalam momen pertama hidupnya? Manusia dan nabi pertama, termulia dari semua makhluk, terlahir dengan satu software aplikasi yang tak dimiliki makhluk lainnya, yakni kemampuan untuk memilih dan menentukan sikap menurut akal dan kata hatinya. Tapi, sesungguhnya tak pernah benar-benar bebas. Kita terkurung oleh kemapanan siang dan malam, terpaku pada gravitasi, dan hanya bisa menghirup udara yang sama. Kita tak pernah punya cukup tempat untuk membebaskan diri dari kekuasaan Sang Pencipta, yang telah mendikte dunia sejak terlontarnya "kun fa yakun!" Bahkan pikiran pun ada batasnya. Bahkan imajinasipun masih terhitung. Bahkan ilusipun masih menampakkan bayangannya. Bahkan halusinasipun masih di sekitar kita. Bahkan kiamat pun semakin dekat. Tak ada yang menjauhkan kita dari apapun, apalagi dari Allah. Berapa jarak yang telah kita tempuh hingga batas usia? Bahkan sebagian dari kita tak pernah keluar dari kota ini.

Kita hidup dalam pola yang tersusun sistematis, terlempar dari satu titik ke titik lain. Morpheous mengajak Neo keluar dari kekangan matrix dengan meliarkan imajinasi dan kemauannya, tapi mereka tak pernah lebih jauh dari cakrawala. Mereka bergerak bebas, tapi masih terikat oleh hukum alam yang solid.

Tak ada yang bebas.

Kita tak pernah punya daya. Kita hanya punya momen-momen kecil yang menuntun kita pada sesuatu yang entah apa. Bagaikan kerlip permukaan berlian, kita menikmatinya sekejap saja. Sebuah momen bercahaya yang memantulkan cahaya ilahiah, yang tak lebih dari sedetik, namun membekas sepanjang hayat.

Bisa juga tidak sama sekali.

Tirai hujan tiba-tiba buyar. Adzan maghrib menghempasku kembali ke balkon duniaku. Sebuah dunia yang terus menawarkan pertanyaan yang sama, "Seberapa jauh kita sudah mengenal Allah?"

Aku sholat dan berharap menemukan jawabannya disana. Agaknya malam ini tak lagi segelap dulu. Atau, mungkin aku sudah tak peduli lagi dengan pertanyaan itu. Bukankah siang hari pun kita bisa tak melihat apapun?

Ketika mata kita terpejam.

Kitalah yang memilih untuk membuka mata atau terpejam dan tidur panjang.
(Diambil dari emailku kepada RM)

2 comments:

Anonymous said...

Assalamu'alaikum...

SULUK 93.

Bagaimanapun juga kita harus merendahkan pikiran jika kita berhadapan dengan perintah Tuhan. Tuhan memerintahkan bukan tanpa alasan tapi atas dasar kemampuan dan kebutuhan manusia. Syariat agama adalah sarana mengenal diri-Nya. Semakin akrab dengan syariat maka semakin kita menemukan kenikmatan yang terselubung dari perintah-Nya.
Tuhan tidak pernah membutuhkan ibadahmu! Kitalah yang membutuhkan-Nya. Kesucian mata bathin yang dihembuskan oleh-Nya adalah kefitrahan yang seringkali dicoreng-moreng oleh perbuatan kita. Penyakit hati yang tidak disukai oleh Tuhan adalah buruk sangka. Ketika kita berburuk sangka terhadap apa yang belum tahu pasti, maka kita tidak akan pernah belajar dari sesuatu.
Mempelajari skenario kehidupan yang diciptakan oleh Tuhan terhadap kita adalah menyelami lautan tanpa dasar. Hingga ambang batas kehidupan, kita tidak akan pernah menemukan ujung dari dasar laut jika kita tidak menemukan kesejatian hidup.
”Surga” atau ”Neraka” adalah tawaran Tuhan terhadap kita sebagai bentuk dari gambaran agar kita bisa mengerti, mengidentifikasi, untuk selanjutnya memilih. Sebenarnya Tuhan tidak perlu repot memberikan pilihan kepada manusia, akan tetapi itulah makna pembeda antara manusia dan hewan. Walaupun manusia pada dasarnya adalah hewan, namun ia diberi ”akal” sebagai sarana kebebasan untuk memilih (baca : Hayawanunnatik).
Saya disini tidak sedang bermain logika, tapi mencoba untuk ”mengelap” kaca-mata-bathin yang sudah terlanjur kotor dan berkarat dengan maksud ”Cahaya Tuhan”(baca :NUR ILAHI) bisa merasuk kedalam hati. Karena jika GOD Spot sudah bisa menembus jantung-hati, berharap pintu HIDAYAH selalu terbuka untuk kita.


Apa pun, apa pun dan apa pun
yang kita lakukan
sejatinya akan kembali untuk diri kita.

salam.

Amiruddin Olland

SANTRI said...

demi Allah suka lorong wktu semua.tp yg paling berkesan di hati sy adalah yg pertama.tp knp sy cari di internet tidk pernah ada.
dan mohon di share juga DEMI MASA.
sy mohon dg sngat pak.
dan juga HIKAYAT PENGEMBARA. sy bnr bnr ingin mengenangnya pak